Video “(Re)lokasi” menggambarkan bagaimana anggota negosiasi antara komunitas dusun I, Balerante, Klaten dengan pemerintah lokal menyangkut upaya relokasi, pasca leutusan Merapi 2010. Pemerintah yang cenderung membuat penyederhanaan (thin simplication) program relokasi menjadi semata-mata ‘memindahkan’ orang dan ‘membangun’ rumah baru, berhadapan dengan pandangan yang lebih kompleks dari anggota komunitas mengenai rumah dan tempat tinggal. Relokasi tidak bisa disederhanakan memindah ‘yang hidup’, tetapi juga menyangkut ‘kehidupan’ dan ‘penghidupan’.
Video “Relokasi” adalah paparan dari kajian Antropologi mengenai pengetahuan lokal dan adaptasi masyarakat lereng Merapi pasca letusan 2010.
Melalui penayangan video ini, pemirsa bisa belajar dan memperoleh ilmu mengenai bagaimana pengetahuan lokal bekerja dalam relasi kuasa antar komunita/masyarakat dengan negara.
Pengetahuan lokal bukan semata menjelaskan sistem kognitif yang tipikal dari suatu masyarakat terhadap gejala-gejala yang ada dalam lingkungan ekologinya. Sistem ini juga menjadi sumber bagi konstruksi identitas sosial dan kultural sebuah masyarakat. Pengabaian terhadap sistem ini, oleh karenanya, dapat bermakna pengabaian terhadap eksistensi sebuah masyarakat. Kajian-kajian dalam ilmu sosial pada umumnya sejak dekade 1960an telah memberi perhatian terhadap gejala yang disebut dengan “gerakan sosial baru” (new social movement) sebagai inisiatif masyarakat dalam menghadapkan dirinya dengan negara (Habermas 1981, Singh 2001, Touraine 1984). Gerakan-gerakan ini mengeksplorasi identitas sebagai basis untuk menegaskan eksistensinya saat negara, atau pemegang kekuasaan yang lebih besar, atau pengambil kebijakan mengabaikan sistem pengetahuan dan identitas yang dimiliki masyarakat yang menjadi obyek kekuasaan. Adalah khas bagi gerakan dan inisiatif seperti ini untuk menegaskan jaraknya dari negara. Setiap intervensi dari jaring kekuasaan dalam berbagai manifestasinya dianggap hanya akan mengganggu keseimbangan dan keteraturan yang ada dalam sebuah kelompok sosial. Dalam konteks ekologi, intervensi kekuasaan melalui pengetahuan dominan yang berpretensi saintifik dapat juga berpotensi menganggu keseimbangan ekosistem yang ada dan telah terstruktur melalui sistem pengetahuan lokal. Respon-respon yang beragam dari masyarakat di lereng Merapi dapat pula dilihat sebagai bentuk dari gerakan sosial yang berbasis pada identitas kultural ini. Pada kenyataannya, gerakan-gerakan seperti inilah yang dimanifestasikan melalui ritual-ritual religi, mata pencaharian, pelembagaan relasi dan struktur sosial yang khas yang telah menciptakan sistem keteraturan pada masyarakat-masyarakat lokal. Dari perspektif negara, adalah menjadi hal yang kontra produktif jika intervensi melalui kebijakan publik, dalam hal ini berkenaan dengan pemulihan dan rekonstruksi pasca bencana, mengganggu keteraturan dan keajegan sosial dan kultural yang telah ada selama ini dalam setiap lokalitas di lereng Merapi. Wacana mengenai “gerakan sosial baru”, dengan demikian, mengimplisitkan peran aktif negara justru untuk menjamin dan memfasilitasi eksistensi masyarakat lokal dengan memberikan pengakuan terhadap identitas sosial dan budaya mereka. Kegagalan negara dalam mengelola kompleksitas dan mengakui identitas lokal seperti ini justru akan berpotensi mentransformasikan perbedaan sistem pengetahuan yang dimiliki manusia- manusia setempat menjadi resistensi yang tidak proporsional terhadap negara sendiri. Hal ini justru akan semakin menyulitkan upaya kebijakan pemulihan dan rekonstruksi pasca bencana Merapi lebih lanjut.
[wpdm_package id='95']